JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan kembali komitmennya dalam menjaga perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan, khususnya terkait praktik penagihan utang oleh tenaga penagih atau debt collector.
Meski aktivitas penagihan masih diizinkan, OJK menekankan bahwa pelaksanaannya harus mengikuti aturan ketat demi memastikan tidak ada pelanggaran hak debitur serta menghindari praktik intimidatif yang meresahkan masyarakat.
Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, Friderica Widyasari Dewi, menjelaskan bahwa ketentuan mengenai tata cara penagihan telah diatur dengan jelas dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan. Melalui regulasi ini, OJK memberikan pedoman tegas agar perusahaan pembiayaan dan lembaga jasa keuangan mematuhi prinsip etika serta tanggung jawab dalam proses penagihan utang.
“Penagihan hanya boleh dilakukan kepada pihak yang berutang langsung, bukan kepada pasangan, keluarga, atau kolega,” kata Friderica dalam keterangannya di Rapat Dewan Komisioner OJK. Ia menambahkan, kegiatan penagihan juga dilarang dilakukan di tempat umum, termasuk area perkantoran atau fasilitas publik, untuk menghindari tindakan yang berpotensi mempermalukan debitur.
Lebih lanjut, Friderica menjelaskan bahwa waktu penagihan pun telah diatur secara spesifik. “Penagihan hanya boleh dilakukan pada hari Senin hingga Sabtu, di luar hari libur nasional,” ujarnya. Aturan tersebut bertujuan agar aktivitas penagihan tetap dilakukan secara profesional dan manusiawi tanpa mengganggu ketenangan masyarakat.
Selain itu, OJK juga menetapkan standar kompetensi dan sertifikasi wajib bagi setiap tenaga penagih, baik yang berasal dari internal perusahaan maupun pihak eksternal. Mereka wajib memiliki sertifikat resmi dan mematuhi kode etik yang telah ditetapkan oleh regulator. Setiap pelanggaran terhadap ketentuan tersebut akan ditindak tegas, baik melalui teguran, sanksi administratif, hingga pencabutan izin usaha lembaga keuangan yang bersangkutan.
“Perusahaan jasa keuangan (PUJK) juga bertanggung jawab penuh atas tindakan tenaga penagih yang ditugaskan atau bekerja sama dengan mereka,” tegas Friderica. Dengan kata lain, lembaga pembiayaan tidak bisa lepas tangan jika terdapat tindakan tidak etis yang dilakukan oleh pihak ketiga yang mereka tunjuk.
Menurut OJK, lembaga keuangan wajib memastikan bahwa semua proses penagihan dilakukan dengan cara yang sesuai aturan dan menghormati hak-hak konsumen. Dalam beberapa kasus, OJK telah melakukan pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan khusus terhadap praktik penagihan oleh petugas lapangan. Beberapa lembaga pembiayaan pun sudah dikenai sanksi administratif setelah terbukti melanggar ketentuan.
Namun, regulasi tersebut tetap menuai perhatian dari kalangan legislatif. Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, menilai OJK perlu meninjau ulang pasal-pasal dalam POJK Nomor 22 Tahun 2023, khususnya Pasal 44 ayat (1) dan (2), yang dinilainya masih membuka ruang bagi penggunaan jasa pihak ketiga dalam proses penagihan.
“Saya mendesak OJK menghapus aturan pelaku jasa keuangan yang boleh melakukan penagihan utang menggunakan jasa pihak ketiga. Alasannya, praktik di lapangan tidak sesuai aturan dan malah banyak tindak pidana,” ujar Abdullah. Ia juga menekankan bahwa penyelesaian persoalan utang seharusnya dilakukan melalui mekanisme perdata, bukan dengan tekanan atau intimidasi.
Abdullah menyampaikan keprihatinannya terhadap sejumlah insiden yang melibatkan debt collector di lapangan. Salah satunya terjadi di Lapangan Tempel, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah, pada Kamis, 2 November 2025, ketika warga melempari mobil penagih utang karena merasa resah terhadap perilaku petugas yang dianggap arogan dan mengemudi dengan kecepatan tinggi di kawasan pemukiman. Peristiwa itu menunjukkan masih lemahnya penerapan kode etik dalam praktik penagihan di lapangan.
Berdasarkan data OJK, sepanjang Januari hingga 13 Juni 2025, tercatat 3.858 aduan masyarakat terkait penagihan utang oleh pihak ketiga yang tidak sesuai ketentuan. Angka ini menunjukkan bahwa praktik penagihan bermasalah masih menjadi perhatian serius regulator dan publik.
“Namun pertanyaan saya, sudah berapa banyak perusahaan jasa keuangan yang diberi sanksi administratif atau bahkan sampai pidana?” tanya Abdullah, menyoroti pentingnya penegakan hukum yang lebih tegas terhadap lembaga keuangan yang terbukti melanggar aturan.
OJK menilai bahwa pengawasan terhadap praktik penagihan harus terus diperkuat melalui sistem kepatuhan dan audit internal di setiap lembaga keuangan. Selain itu, peningkatan literasi keuangan masyarakat menjadi aspek penting agar nasabah lebih memahami hak dan kewajibannya, serta dapat melapor jika mengalami perlakuan yang tidak sesuai.
Friderica menyebut, pendekatan penagihan yang manusiawi justru menjadi kunci dalam mengurangi potensi kredit macet di sektor pembiayaan. OJK percaya bahwa hubungan yang baik antara debitur dan lembaga keuangan dapat menciptakan kepercayaan dan meningkatkan kepatuhan dalam pembayaran.
Dengan aturan yang semakin ketat, OJK berharap praktik penagihan ke depan dapat dilakukan secara transparan, profesional, dan sesuai dengan nilai-nilai etika. Hal ini diharapkan mampu menghapus citra negatif terhadap profesi debt collector sekaligus memperkuat perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan.
Melalui pengawasan yang lebih komprehensif dan penegakan hukum yang tegas, OJK menargetkan agar seluruh pelaku industri jasa keuangan dapat menjaga integritasnya dan menjunjung tinggi tanggung jawab sosial dalam setiap kegiatan bisnisnya. Dengan demikian, kepercayaan publik terhadap sistem keuangan nasional dapat terus meningkat seiring dengan perbaikan tata kelola di semua lini.