JAKARTA - Langkah pemerintah dalam memperkuat ketahanan energi nasional semakin konkret.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyiapkan hampir satu juta hektare lahan yang akan digunakan untuk menanam bahan baku bioetanol. Kebijakan ini menjadi langkah strategis menuju kemandirian energi dan pengurangan ketergantungan terhadap impor bahan bakar fosil.
Pemanfaatan Lahan Eks HGU dan Lahan Terlantar
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid mengungkapkan bahwa dari target satu juta hektare lahan, sekitar 920 ribu hektare telah berhasil dipetakan dan siap diverifikasi oleh Kementerian Pertanian. “Tinggal diverifikasi dulu oleh Kementerian Pertanian cocok apa tidak, yang [sekitar] 100 ribu (ha) saya masih cari, PR lagi tak carikan lagi,” ujar Nusron di Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Jakarta.
Dari total tersebut, 680 ribu hektare diambil dari eks hak guna usaha (HGU) yang tidak diperpanjang, sementara 240 ribu hektare lainnya berasal dari lahan terlantar yang sudah ditetapkan untuk ditanami bahan baku bioetanol.
“Serahkan ke sana. Ya kan? Untuk nanam [bahan baku] etanol sisanya kurang, kan baru 680 ribu, tambah 240 ribu, kan baru 920 ribu kan. Kurang 80 ribu lagi tak [saya] pikir ini cari, mana lagi, ini lagi mikir,” tambahnya.
Lahan Tersebar di 18–19 Provinsi Indonesia
Program strategis ini melibatkan berbagai daerah di seluruh Indonesia. Nusron menyebutkan bahwa lahan tersebut tersebar di 18 hingga 19 provinsi, mencakup Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa Barat, Jawa Timur, hingga Papua. Pemerataan lokasi ini diharapkan dapat mendorong aktivitas ekonomi baru di daerah serta membuka peluang kerja bagi masyarakat sekitar.
Pemerintah juga memastikan bahwa pemanfaatan lahan ini tidak akan mengganggu fungsi lingkungan maupun lahan pertanian produktif. Sebaliknya, lahan-lahan yang selama ini tidak termanfaatkan akan diubah menjadi kawasan produktif untuk mendukung program energi hijau nasional.
Dukungan terhadap Program Mandatori Bioetanol E10
Langkah penyediaan lahan tersebut menjadi bagian penting dari persiapan program mandatori bioetanol 10% atau E10 yang digagas oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa program ini harus dipercepat agar Indonesia segera lepas dari ketergantungan terhadap impor bensin. “Mandatori E10 mesti dipercepat agar Indonesia bisa segera lepas dari ketergantungan impor bensin,” ujarnya.
Kementerian ESDM memperkirakan bahwa kebutuhan bioetanol untuk menjalankan mandatori E10 mencapai 1,2 juta kiloliter per tahun. Karena itu, keberadaan lahan yang luas dan siap tanam menjadi faktor kunci dalam memastikan pasokan bahan baku bioetanol tersedia secara berkelanjutan.
Pertamax Green 95 Jadi Langkah Awal Pemanfaatan Bioetanol
Pemerintah melalui PT Pertamina (Persero) telah lebih dulu memperkenalkan bahan bakar berbasis bioetanol, yakni Pertamax Green 95, yang mengandung campuran etanol 5%. Produk ini menjadi pionir dalam implementasi bahan bakar rendah emisi di Tanah Air.
Hingga saat ini, konsumsi Pertamax Green 95 tercatat sekitar 100–110 kiloliter per bulan, angka yang diharapkan akan meningkat seiring pengembangan produksi bioetanol nasional.
Langkah Pertamina ini menjadi bagian dari roadmap energi bersih, yang akan berkembang menjadi bahan bakar dengan campuran etanol lebih tinggi, yakni E10. Dengan dukungan lahan yang luas dan produksi bahan baku yang memadai, Indonesia diharapkan mampu memproduksi bioetanol secara mandiri tanpa ketergantungan pada impor.
Peluang Ekonomi dan Dampak Lingkungan Positif
Selain memperkuat kemandirian energi, proyek bioetanol nasional juga membuka peluang besar bagi sektor pertanian dan industri energi terbarukan.
Bahan baku seperti tebu dan singkong, yang menjadi sumber utama etanol, akan meningkatkan permintaan dari petani lokal. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat sekaligus menciptakan lapangan kerja baru di daerah.
Dari sisi lingkungan, penggunaan bioetanol akan membantu menurunkan emisi karbon karena bahan bakar ini menghasilkan polusi lebih rendah dibandingkan bensin murni. Dengan demikian, program ini menjadi bagian penting dari strategi nasional menuju Net Zero Emission pada 2060.
Tantangan Implementasi dan Koordinasi Antarinstansi
Meskipun program ini penuh potensi, pemerintah masih menghadapi beberapa tantangan, terutama terkait verifikasi lahan, infrastruktur produksi bioetanol, dan sinkronisasi lintas kementerian.
Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa saat ini pemerintah sedang menyiapkan lini waktu implementasi yang realistis agar mandatori E10 dapat dijalankan tepat waktu. “Kita sedang menyiapkan lini waktu yang memungkinkan untuk implementasi mandatori bioetanol 10% tersebut,” katanya.
Koordinasi yang kuat antara ATR/BPN, Kementerian Pertanian, dan Kementerian ESDM menjadi kunci keberhasilan program ini. Jika seluruh pihak mampu bergerak selaras, Indonesia dapat menjadi pemain utama dalam industri bioetanol di kawasan Asia Tenggara.
Menuju Kemandirian Energi dan Transisi Hijau Nasional
Dengan tersedianya lahan seluas hampir satu juta hektare, pemerintah menunjukkan komitmen nyata terhadap kemandirian energi nasional dan pengembangan ekonomi hijau.
Upaya ini diharapkan tidak hanya mengurangi impor bahan bakar fosil, tetapi juga memperkuat ketahanan energi di berbagai daerah serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Jika semua proses berjalan lancar, dalam beberapa tahun ke depan Indonesia tidak hanya akan menjadi konsumen energi bioetanol, melainkan juga produsen utama di kawasan Asia Tenggara—sebuah langkah penting menuju masa depan energi bersih dan berkelanjutan.