JAKARTA - Bullying bukan sekadar masalah sekolah atau pertemanan; efeknya bisa menembus dunia emosional anak secara mendalam.
Namun, tidak semua anak merespons pengalaman buruk ini dengan cara yang sama. Beberapa anak menunjukkan kemarahan yang meluap, sementara yang lain justru menarik diri dan tenggelam dalam perasaan bersalah. Perbedaan ini bukan soal kelemahan atau kekuatan, melainkan hasil interaksi antara kepribadian, dukungan sosial, dan pencarian makna diri.
Arnold Lukito, psikolog klinis dari Tabula Rasa, menjelaskan bahwa reaksi anak terhadap bullying sangat bergantung pada faktor internal dan eksternal yang membentuk bagaimana mereka memproses pengalaman traumatis. “Bullying bisa menjadi pemicu emosional yang besar, tapi dampaknya sangat tergantung pada beberapa faktor,” ujar Arnold.
Memahami respons ini penting agar orang tua, guru, dan figur dewasa lainnya dapat menanggapi dengan tepat, membantu anak menyalurkan emosi secara sehat, dan mencegah konsekuensi psikologis jangka panjang. Berikut ini beberapa faktor yang memengaruhi bagaimana anak bereaksi terhadap bullying.
Kepribadian dan Regulasi Emosi
Kepribadian anak dan kemampuan mengatur emosi menjadi kunci utama dalam menentukan bagaimana mereka merespons perundungan. Anak dengan sifat impulsif, agresif, atau memiliki riwayat trauma cenderung mengekspresikan sakit hati secara eksternal. Mereka mungkin menunjukkan perilaku destruktif atau mencoba membalas secara fisik maupun verbal.
Sebaliknya, anak yang lebih sensitif, perfeksionis, atau tidak memiliki outlet emosional biasanya mengekspresikan rasa sakitnya secara internal. Mereka bisa menyalahkan diri sendiri, mengalami depresi, atau bahkan memunculkan ide bunuh diri. Arnold menjelaskan, satu pengalaman bullying bisa memicu dua ujung ekstrem: eksternalisasi dengan sikap “aku akan balas supaya mereka tahu rasanya” dan internalisasi dengan pola pikir “mungkin aku pantas disakiti.”
Peran Dukungan Sosial dan Figur Aman
Tidak hanya kepribadian, kehadiran figur dewasa yang aman juga sangat memengaruhi bagaimana anak menghadapi bullying. Guru, orang tua, konselor, atau mentor yang memberi rasa didengar dan diakui dapat membantu anak menyalurkan emosi secara sehat. Arnold menekankan, “Tidak selalu karena figur itu memberi solusi, tapi karena ia memberi rasa diakui.”
Tanpa dukungan sosial, anak mungkin mencari validasi di tempat lain. Sayangnya, beberapa komunitas atau kelompok yang tampak ramah bisa saja memiliki nilai atau ideologi berbahaya. Hal ini menjelaskan mengapa beberapa anak yang mengalami perundungan menjadi rentan terhadap pengaruh negatif di luar lingkungannya.
Pencarian Makna dan Narasi Identitas
Bullying kerap membuat anak merasa kehilangan tempat dan identitas. Di sinilah pencarian makna menjadi krusial. Anak dan remaja cenderung tertarik pada narasi yang memberi mereka rasa penting, kendali, atau peran sebagai “pejuang,” meski narasi tersebut datang dari sumber yang ekstrem.
“Ideologi ekstrem sering kali memberi pesan kebalikan: kamu bukan korban, kamu pejuang. Narasi seperti ini sangat kuat bagi otak remaja yang sedang membangun konsep diri,” ujar Arnold. Remaja memang berada pada fase eksplorasi identitas dan pengakuan. Ketika lingkungan sekitar tidak menyediakan tempat aman untuk mengekspresikan diri, mereka lebih mudah terpengaruh pesan yang memberi perhatian dan validasi.
Membangun Ruang Aman dan Empati
Mengerti mekanisme respons anak terhadap bullying menjadi dasar penting dalam pencegahan kekerasan dan radikalisasi. Anak perlu memiliki ruang aman untuk mengekspresikan emosi tanpa takut dihakimi. Arnold menekankan pentingnya membangun empati, literasi emosi, dan rasa diterima: “Membangun empati, literasi emosi, dan rasa diterima jauh lebih efektif daripada sekadar memberi nasihat.”
Tidak ada satu cara universal untuk menghadapi dampak bullying. Setiap anak memiliki dunia emosionalnya sendiri dan membutuhkan pendekatan yang disesuaikan. Yang dapat dilakukan orang dewasa adalah hadir, mendengarkan, dan memastikan anak merasa tidak sendirian. Dengan pemahaman ini, anak dapat belajar menavigasi pengalaman negatif dengan cara yang lebih sehat, menjaga kesejahteraan emosional, dan membangun ketahanan diri yang lebih baik.