JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat tren positif dalam upaya sertifikasi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) melalui Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS).
Hingga Senin, 17 November 2025, tercatat 5.031 SPPG telah mengajukan proses sertifikasi, menandakan kesadaran pengelola dapur dan layanan gizi terhadap pentingnya standar kesehatan meningkat.
Jumlah SPPG yang Belum Mendaftar Masih Signifikan
Direktur Kesehatan Lingkungan Kemenkes, Suyanti, menegaskan bahwa meski angka pengajuan sudah signifikan, masih terdapat 9.249 SPPG yang belum mendaftar. “Hingga kemarin, sebanyak 5.031 SPPG telah mengajukan proses sertifikasi SLHS, sedangkan 9.249 SPPG belum mengajukan,” jelasnya. Data ini mencerminkan tantangan pemerintah dalam memperluas jangkauan sertifikasi, khususnya bagi dapur dan layanan gizi di wilayah terpencil.
Status Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) SPPG
Proses sertifikasi ini menekankan pentingnya keamanan pangan dan kebersihan lingkungan. Untuk Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), sebanyak 6.717 SPPG telah dinyatakan lulus, sementara 479 SPPG belum lulus. Suyanti menambahkan, SPPG yang belum lulus dapat mengajukan kembali setelah melakukan perbaikan dengan pendampingan dari petugas Dinas Kesehatan setempat.
Biaya dan Proses Penerbitan SLHS
Sertifikasi SLHS diberikan tanpa biaya, namun uji sampel tetap memerlukan biaya Rp 1–2 juta, tergantung wilayah. “Biaya uji sampel merupakan ranah daerah karena termasuk retribusi. Proses penerbitan SLHS memerlukan waktu maksimal dua minggu,” ungkap Suyanti. Mekanisme ini dirancang untuk memastikan standar keamanan pangan tetap terjaga, sekaligus mendorong transparansi dan akuntabilitas pengelolaan SPPG.
Percepatan Pendaftaran dan Sertifikasi
Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) sekaligus Ketua Pelaksana Harian Tim Koordinasi, Nanik Sudaryati Deyang, menekankan pentingnya percepatan proses uji dan pemberian SLHS.
Nanik meminta dinas kesehatan di daerah untuk memaksimalkan pelayanan agar SPPG dapat segera memiliki sertifikat, mengingat jumlah SPPG operasional terus meningkat. “Kami telah memberi waktu maksimal satu bulan bagi SPPG untuk mendaftarkan dapurnya ke dinas kesehatan. Biaya pengurusan SLHS juga diharapkan tidak memberatkan,” ujar Nanik.
Pembentukan Pokja Keamanan Pangan
Selain itu, Tim Koordinasi MBG membentuk lima Kelompok Kerja (Pokja), salah satunya Pokja Keamanan Pangan dan Pemenuhan Gizi yang diketuai oleh anggota Kemenkes. Pokja ini memiliki tugas penting, yaitu membahas solusi agar insiden terkait keamanan pangan tidak berulang. Langkah ini menjadi bagian dari strategi nasional memperkuat standar gizi dan higiene, khususnya dalam layanan dapur dan makanan sekolah.
Dampak Positif bagi Program MBG
Langkah percepatan sertifikasi SLHS dinilai strategis karena SPPG berperan penting dalam mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG) di berbagai wilayah. Dengan meningkatnya jumlah SPPG bersertifikat, kualitas gizi yang disalurkan dapat lebih terjamin, sekaligus menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap program pemerintah.
Harapan Kemenkes untuk Standar Gizi Nasional
Secara nasional, upaya ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menjaga kualitas layanan gizi, terutama di tengah peningkatan operasional SPPG di daerah terpencil. Selain aspek kesehatan, proses sertifikasi juga menjadi alat edukasi bagi pengelola dapur mengenai praktik kebersihan, higiene, dan keamanan pangan yang benar.
Dengan semakin banyaknya SPPG yang mengajukan SLHS, Kemenkes optimistis bahwa standar kualitas gizi dan higiene di seluruh Indonesia akan semakin merata. Pemerintah berharap, kombinasi pengawasan, edukasi, dan sertifikasi akan menciptakan ekosistem layanan gizi yang aman, bersih, dan berkualitas tinggi.