JAKARTA - Upaya memperkuat kerja sama internasional dalam pengelolaan hutan dan pengembangan pasar karbon kembali menjadi sorotan ketika Indonesia dan Republik Demokratik Kongo menjalin komunikasi intensif di panggung Konferensi Tingkat Tinggi Iklim (COP 30) di Belem, Brasil.
Dalam pertemuan bilateral tersebut, Indonesia menekankan pentingnya membangun pasar karbon yang kredibel, transparan, dan selaras dengan standar global. Sudut pandang ini menjadi pintu masuk baru bagi pembahasan yang lebih luas mengenai arah kolaborasi kedua negara dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.
Wakil Menteri Kehutanan Rohmat Marzuki mengadakan pertemuan dengan Menteri Lingkungan Hidup, Pembangunan Berkelanjutan, dan Ekonomi Iklim Baru Republik Demokratik Kongo, Marie Nyange Ndambo.
Dalam pertemuan tersebut, Indonesia menyampaikan apresiasinya terhadap komitmen Kongo dalam membangun pasar karbon berintegritas tinggi serta langkah-langkah negara tersebut dalam memperkuat tata kelola hutan tropis. Indonesia memuji pembentukan Autorité de Régulation des Marchés du Carbone (ARMCA) yang menjadi tonggak penting dalam pengaturan pasar karbon nasional mereka.
“Ini merupakan langkah maju yang luar biasa dalam membangun pasar karbon berintegritas tinggi dan memperkuat tata kelola hutan. Indonesia menghargai kepemimpinan DRC di kawasan Basin Kongo,” ujar Wamen Rohmat Marzuki.
Penguatan Kebijakan Pasar Karbon Indonesia
Pada kesempatan yang sama, Wamenhut menjelaskan bahwa Indonesia juga memperkuat kebijakan pasar karbon melalui Perpres No 110/2025. Peraturan tersebut menempatkan perdagangan karbon sebagai instrumen utama dalam strategi pertumbuhan hijau dan ekonomi rendah karbon. Dalam kerangka kebijakan ini, unit karbon yang dihasilkan dari solusi berbasis alam seperti reboisasi, restorasi mangrove, serta agroforestri dapat diperdagangkan baik di pasar domestik maupun internasional.
Sebagai bagian dari upaya harmonisasi regulasi, Indonesia tengah menyempurnakan sejumlah ketentuan sektoral yang berkaitan dengan perdagangan karbon dan pengelolaan hutan.
Di antaranya adalah revisi Peraturan No 7/2023 tentang Perdagangan Karbon di Sektor Kehutanan, Peraturan No 8/2021 tentang Zonasi dan Pengelolaan Hutan, Peraturan No 9/2021 tentang Kehutanan Sosial, serta penyusunan regulasi baru mengenai pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan konservasi. Melalui reformasi kebijakan ini, pemerintah mendorong pemanfaatan nilai ekonomi karbon sebagai mesin baru untuk pertumbuhan hijau yang inklusif.
Langkah tersebut juga berkaitan dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk merehabilitasi 10 juta hektare lahan terdegradasi dan kritis. Upaya ini merupakan bagian dari agenda nasional FOLU Net Sink 2030 yang menargetkan sektor kehutanan menjadi penyerap bersih emisi karbon pada 2030.
Penguatan Program Inklusif Berbasis Masyarakat
Dalam pidatonya, Wamenhut menyoroti sejumlah program yang memperkuat peran masyarakat dalam menjaga hutan. Indonesia mengembangkan bioenergi berbasis kelapa sawit dengan potensi produksi hingga 24 juta kiloliter bioethanol yang dapat membantu menekan ketergantungan impor bahan bakar hingga 50 persen.
Selain itu, pemerintah memperkuat program perhutanan sosial yang telah memberikan akses kelola kepada masyarakat atas lebih dari 8,4 juta hektare hutan. Program ini diklaim telah menciptakan 5,6 juta lapangan kerja hijau bagi 1,4 juta rumah tangga di seluruh Indonesia.
Pengakuan terhadap hutan adat juga menjadi salah satu fokus melalui pembentukan Tim Satuan Tugas Percepatan Penetapan Hutan Adat. Tim tersebut telah memfasilitasi pengakuan atas 70.688 hektare dan menargetkan 1,4 juta hektare pada 2029.
Seluruh inisiatif tersebut menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya berfokus pada aspek teknis pasar karbon, tetapi juga pada keberlanjutan sosial dan ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
Kerja Sama Internasional untuk Pasar Karbon Berkelanjutan
Dalam membangun pasar karbon yang kredibel, Indonesia menyatakan kesiapannya bekerja sama dengan mitra internasional. Wamenhut menjelaskan bahwa Indonesia baru-baru ini menandatangani MoU dengan Asosiasi Perdagangan Emisi Internasional (IETA) dan Dewan Integritas Pasar Karbon Sukarela (ICVCM).
Kolaborasi tersebut bertujuan memperkuat kapasitas nasional, memperdalam kerja sama teknis, dan meningkatkan keterlibatan sektor swasta sebagai pilar utama dalam membangun pasar karbon berstandar global.
Wamenhut juga menegaskan pentingnya memperkuat kerja sama Selatan–Selatan dalam sektor kehutanan. Indonesia dan Republik Demokratik Kongo telah berkolaborasi melalui Pusat Lahan Gambut Tropis Internasional (ITPC) dan Inisiatif Lahan Gambut Global. Kedua platform tersebut memfasilitasi pertukaran pengetahuan dan penelitian antara negara-negara tropis yang memiliki karakteristik ekosistem serupa.
“Berlandaskan fondasi ini, Indonesia siap berkolaborasi dengan Republik Demokratik Kongo dalam memperkuat pasar karbon di sektor kehutanan. Kami berbagi komitmen yang sama: melindungi hutan tropis sambil mendorong kemakmuran ekonomi dan sosial,” tegas Wamenhut.
Kelanjutan Koalisi Brasil–Indonesia–Kongo
Republik Demokratik Kongo dalam pertemuan tersebut juga menyatakan keinginan untuk menindaklanjuti koalisi yang telah dimulai sejak COP Glasgow, yakni koalisi antara Brasil, Indonesia, dan Kongo. Selain melanjutkan kemitraan tersebut, Kongo juga menyatakan minat untuk memperkuat kolaborasi dalam kerangka International Tropical Peatland Center (ITPC). Untuk mencapai tujuan tersebut, kedua negara sepakat untuk meningkatkan komunikasi dan koordinasi intensif.
Kerja sama yang semakin erat ini diharapkan mampu memperkuat posisi negara-negara pemilik hutan tropis sebagai kekuatan utama dalam upaya global mengurangi emisi dan menangani perubahan iklim. Dengan langkah-langkah yang sistematis dan terarah, Indonesia dan Kongo berupaya menempatkan diri sebagai model bagi pengembangan pasar karbon yang berintegritas, inklusif, dan berkelanjutan.