Menkomdigi Sebut 45 Persen Anak Jadi Korban Bullying Lewat Pesan Digital

Jumat, 21 November 2025 | 08:17:17 WIB
Menkomdigi Sebut 45 Persen Anak Jadi Korban Bullying Lewat Pesan Digital

JAKARTA - Peringatan Hari Anak Sedunia kembali menjadi momentum bagi pemerintah untuk menyoroti berbagai persoalan yang mengancam perkembangan generasi muda, terutama di ruang digital.

Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid mengungkapkan keprihatinan mendalamnya terhadap meningkatnya kasus perundungan yang dialami anak-anak Indonesia, terutama melalui platform chatting. Ia menekankan bahwa era digital membawa peluang besar, tetapi sekaligus risiko yang bisa menggerogoti kesehatan mental dan emosional anak jika tidak diawasi dengan baik.

Dalam sambutannya di Hotel Lumire, Jakarta Pusat, Kamis, 20 November 2025, Meutya menyampaikan bahwa data terbaru United Nations Children's Fund (UNICEF) menunjukkan tingginya angka perundungan yang terjadi di ruang digital. 

Data tersebut menjadi perhatian serius karena menggambarkan bahwa anak-anak berada dalam lingkungan online yang tidak sepenuhnya aman. “Bullying kurang lebih 45 persen, ini juga data yang kita pegang saat ini, yang dilakukan melalui aplikasi digital, khususnya chatting,” ujarnya.

Pernyataan ini menegaskan bahwa tantangan digital tidak lagi sekadar isu akses atau literasi, tetapi juga keselamatan dan perlindungan anak dalam berkomunikasi dan berekspresi di dunia maya.

Pengaruh Konten Negatif pada Emosi dan Perilaku Anak

Meutya menjelaskan bahwa maraknya konten negatif di ruang digital memberi dampak yang nyata terhadap perkembangan sosial dan emosional anak. Akses yang begitu mudah terhadap gadget membuat anak kerap terpapar konten yang tidak sesuai usia mereka. Menurutnya, hal ini dapat meningkatkan kecenderungan anak untuk bersikap mudah marah, mengalami gejolak emosi, hingga memunculkan perilaku agresif.

“Kita melihat rata-rata anak-anak yang terpapar hal-hal yang negatif itu menjadi cenderung mudah marah, emosional, terpapar konten-konten negatif, dan sebagainya,” tutur Meutya. Ia memandang bahwa derasnya arus informasi membuat anak semakin sulit memilah mana konten yang aman dan mana yang berpotensi membahayakan kesehatan emosional mereka.

Situasi ini juga mencerminkan bahwa penyaringan konten serta pendampingan digital menjadi kunci dalam mencegah anak terjebak dalam lingkaran konten berbahaya. Tanpa intervensi dari orang dewasa, anak lebih rentan mengalami tekanan psikologis yang pada akhirnya dapat berdampak pada hubungan sosial maupun prestasi mereka.

Perkembangan Teknologi dan Kerentanan Anak di Dunia Maya

Seiring kemajuan teknologi, pola kekerasan terhadap anak pun ikut berubah. Meutya menggarisbawahi bahwa kekerasan di ranah digital semakin memuluskan tindakan perundungan karena dapat dilakukan secara anonim dan masif. Perkembangan teknologi memudahkan anak terpapar kekerasan digital tanpa disadari.

“Saya lagi pilih-pilih, karena ini data-datanya memang banyak yang membuat hati kita bisa menjadi ciut,” ucap Meutya ketika menggambarkan bagaimana laporan penggunaan internet anak semakin mengkhawatirkan. Ia mengaku bahwa data tersebut tidak sekadar angka, melainkan gambaran nyata bahwa anak-anak semakin terseret dalam ekosistem digital yang belum sepenuhnya aman.

Dengan internet yang dapat diakses kapan saja, anak-anak kini berinteraksi di ruang yang tidak memiliki batasan fisik. Interaksi itu dapat berubah menjadi intimidasi, pelecehan, atau perundungan dalam hitungan menit. Meutya menilai bahwa tanpa literasi dan pengawasan yang kuat, risiko tersebut semakin mengancam perkembangan anak.

Tanggung Jawab Orangtua dalam Mengawasi Aktivitas Digital Anak

Dalam kesempatan tersebut, Meutya menyoroti peran orangtua sebagai garda terdepan perlindungan anak. Ia menegaskan bahwa masih banyak orangtua yang membiarkan anak-anak mereka menggunakan gadget secara bebas tanpa pendampingan. Padahal, dunia digital sangat tidak ramah bagi anak jika digunakan tanpa batasan dan tanpa pengawasan.

“Berjalan sendirian saja itu ibarat kita mengabaikan. Ini anak-anak kita berlari di ranah yang tidak ramah kepada anak, dan orang tua atau sebagian besar orang tua masih membiarkan anak-anak kita berlari sendirian di ranah itu,” ujarnya. Meutya menekankan bahwa sikap abai orangtua dapat membuat anak semakin rentan terhadap ancaman digital seperti perundungan, paparan konten dewasa, hingga tekanan emosional akibat interaksi daring.

Upaya perlindungan ini juga ia sampaikan dalam imbauannya agar orangtua mulai memberikan pemahaman kepada anak bahwa dunia digital memiliki risiko tinggi. Menurutnya, pembiasaan dalam mendampingi anak dan membatasi akses gadget dapat menjadi langkah awal untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih aman. Meutya juga sebelumnya telah mengajak orangtua untuk melindungi anak dari ancaman digital melalui microsite PP Tunas, sebuah platform edukasi yang ditujukan bagi keluarga.

Di tengah berkembangnya teknologi, ia berharap kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan orangtua dapat menciptakan ruang digital yang lebih sehat bagi anak. Tidak hanya menekan angka perundungan, tetapi juga membangun literasi digital yang lebih kuat demi keberlangsungan generasi masa depan.

Terkini

15 Hp OPPO Terbaru 2025, Harga dan Spesifikasi

Sabtu, 22 November 2025 | 21:33:26 WIB

Top 10 Harga Laptop ASUS 3 Jutaan Terbaik 2025

Sabtu, 22 November 2025 | 21:12:10 WIB

iPad Terbaru 2025: Spesifikasi dan Harganya di Indonesia

Sabtu, 22 November 2025 | 16:04:19 WIB