JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi nasional kembali menunjukkan angka positif, namun gambaran keseharian masyarakat justru memperlihatkan cerita yang berbeda.
Itulah konteks yang menjadi sorotan Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin saat menghadiri Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2026: Menata Ulang Arah Ekonomi Berkeadilan yang diselenggarakan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Dalam forum tersebut, ia menekankan bahwa melihat perekonomian tidak bisa hanya terpaku pada laporan formal dan grafik, melainkan harus ditinjau dari kenyataan hidup masyarakat yang berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Menurut Cak Imin, masih terdapat jurang antara klaim pertumbuhan ekonomi dan realitas lapangan, terutama bagi masyarakat kelas bawah yang merasakan tekanan ekonomi semakin berat. Meskipun pemerintah dan lembaga internasional menyampaikan proyeksi positif, ia melihat langsung bagaimana kelompok pekerja, petani, nelayan, dan pelaku usaha kecil menghadapi tantangan yang tidak ringan. Baginya, pertumbuhan yang dicatat dalam laporan statistik tidak serta-merta mencerminkan kondisi ekonomi yang dirasakan publik.
Pergeseran Fokus dari Angka menuju Realitas
Dalam kesempatan itu, Cak Imin menyoroti kecenderungan para pembuat kebijakan dan analis yang dinilainya terlalu bergantung pada data makro. Ia mengingatkan bahwa bahasa angka sering kali merangkum situasi secara singkat tetapi tidak selalu mampu menangkap dinamika sosial ekonomi yang lebih kompleks.
“Bapak-Ibu sekalian ketika berbicara tentang perekonomian Indonesia seringkali kita terpaku pada angka-angka yang muncul dan terjadi kita larut dalam bahasa ringkasan eksekutif,” kata Cak Imin.
Ia mengaku telah membaca laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut perekonomian Indonesia pada kuartal ketiga tumbuh 5,04 persen. Selain itu, ia juga menyoroti laporan dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9 persen pada 2025. Proyeksi itu dinilai lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi global sebesar 2,9 persen.
Namun, ia menegaskan bahwa apresiasi terhadap pertumbuhan ekonomi tidak boleh membuat publik dan pemangku kebijakan mengabaikan kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat justru semakin kesulitan.
Denyut Ekonomi Warga Masih Menunjukkan Beban Berat
Dalam pidatonya, Cak Imin mengajak seluruh pihak untuk melihat perekonomian nasional dari sisi warga biasa. Di tengah laporan positif soal pertumbuhan, masyarakat kelas bawah menghadapi tekanan ekonomi yang membuat pendapatan mereka tidak mampu mengimbangi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.
“Para pekerja yang pendapatannya sulit mengejar kenaikan harga-harga kebutuhan, para petani dan nelayan yang masih bekerja dengan pola produksi yang stagnan,” ujar Cak Imin.
Ia juga menyinggung para pekerja informal yang tidak memiliki perlindungan kesejahteraan memadai. Selain itu, para pelaku UMKM pun tetap diliputi kecemasan karena pendapatan yang tidak stabil dan tantangan operasional yang belum terselesaikan.
“Para pekerja informal yang tidak terlindungi kesejahteraannya, para pelaku UMKM yang diliputi kecemasan penghasilan,” tambahnya.
Cak Imin menilai kondisi tersebut bukan fenomena baru, melainkan sesuatu yang terus berlangsung selama satu dekade terakhir. Menurutnya, paradoks antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan tetap menjadi realitas yang belum diatasi secara tuntas.
Ketimpangan sebagai Tantangan Ekonomi Berkeadilan
Lebih jauh, Cak Imin menyoroti isu ketimpangan yang masih menghantui perekonomian Indonesia. Ia menyinggung bagaimana desa memiliki potensi ekonomi yang besar, namun di sisi lain justru menjadi lokasi dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Ia menyebut dari 23,85 juta orang miskin di Indonesia, sebanyak 2,38 juta orang termasuk kategori miskin ekstrem, dan setengahnya berada di desa.
Ia juga menyoroti kondisi ketimpangan kekayaan yang masih tajam. “Kita juga menyaksikan angka kini rasio terus turun saat ini 0,38 tetapi di saat yang sama kita juga mendapati bahwa 1 persen orang terkaya di negeri ini menguasai hampir 50 persen total kekayaan nasional kita,” tutur Cak Imin.
Menurutnya, angka-angka tersebut menggambarkan bahwa Indonesia masih menghadapi tugas besar dalam mewujudkan ekonomi yang berkeadilan. Pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya mampu mengangkat kelompok masyarakat paling rentan. Masyarakat desa, pekerja informal, dan usaha mikro kecil masih membutuhkan intervensi yang lebih terarah, bukan hanya melalui program berskala besar, tetapi juga kebijakan yang menyentuh akar persoalan.
Pembangunan Ekonomi Perlu Melihat Suara Akar Rumput
Cak Imin juga menegaskan bahwa pembicaraan mengenai perekonomian nasional harus melibatkan suara-suara masyarakat akar rumput. Menurutnya, angka pertumbuhan ekonomi yang stabil tidak boleh membuat pemerintah lalai terhadap kelompok yang paling terdampak tantangan ekonomi.
Baginya, pemulihan ekonomi tidak cukup dilihat dari indikator pertumbuhan semata, tetapi harus ditinjau dari bagaimana masyarakat merasakan hasil pembangunan itu sendiri. Pendapatan mereka perlu memiliki daya beli yang kuat, akses terhadap sumber penghidupan perlu diperluas, dan kesempatan untuk berkembang harus semakin terbuka.
Ia meyakini bahwa memahami realitas sosial adalah langkah pertama untuk merumuskan kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat.