Pertumbuhan Smelter Nikel RI Harus Seimbang dengan Pasokan Bijih

Kamis, 20 November 2025 | 11:15:55 WIB
Pertumbuhan Smelter Nikel RI Harus Seimbang dengan Pasokan Bijih

JAKARTA - Indonesia dikenal sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia.

Ironisnya, masifnya pembangunan smelter kini memaksa negara mengimpor bijih nikel dari Filipina, menandai perlunya keseimbangan antara hilirisasi industri dan penguatan pasokan hulu agar ekosistem nikel nasional tetap berkelanjutan.

Cadangan Nikel Besar, Namun Pasokan Masih Terbatas

Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) Arif Perdana Kusumah menegaskan bahwa Indonesia memiliki cadangan nikel sebesar 55 juta ton logam, atau sekitar 45% cadangan dunia. Secara teori, negara seharusnya aman dari kekurangan bijih nikel. Namun pertumbuhan smelter yang cepat membuat kapasitas produksi tambang nasional tidak mampu mengejar kebutuhan industri hilir.

“Pertumbuhan smelter yang begitu masif membuat kapasitas produksi tambang tidak mampu mengejar kebutuhan,” kata Arif.

Ketergantungan pada Impor Menjadi Sinyal Penting

Fenomena impor bijih nikel yang mencapai 10,4 juta ton dari Filipina pada 2024, dan diperkirakan naik menjadi 15 juta ton pada 2025 senilai US$600 juta, menjadi ironi besar. Padahal cadangan Filipina hanya 4,8 juta ton logam nikel atau sekitar 4% cadangan global. Arif menilai impor ini terjadi karena keterbatasan pasokan dalam negeri dan kebutuhan blending untuk menyesuaikan rasio Si:Mg dalam proses smelter.

“Sebuah ironi besar, negara superpower nikel dunia bergantung kepada negara dengan cadangan jauh lebih kecil,” tambahnya.

Pertumbuhan Smelter yang Pesat

Dalam catatan FINI, kapasitas smelter meningkat signifikan dalam kurun kurang dari sepuluh tahun. Pada 2017, kapasitas produksi smelter hanya 250.000 ton nikel kelas dua, sementara pada 2024 kapasitas melonjak menjadi 1,8 juta ton nikel kelas dua dan 395.000 ton nikel kelas satu. Pertumbuhan ini menjadikan Indonesia pemain strategis dunia dalam industri baja tahan karat dan material baterai, dengan pangsa pasar lebih dari 60% kebutuhan nikel global.

Dampak Ketatnya Pasokan Bijih Nikel

Arif menyoroti ancaman yang muncul akibat ketidakseimbangan antara produksi tambang dan kapasitas smelter. Pertama, ketidakpastian investasi meningkat karena perubahan kebijakan. Kedua, biaya produksi naik akibat harga bijih melambung. Ketiga, risiko smelter menghentikan operasi sementara. Keempat, investasi lanjutan di industri baterai dan kendaraan listrik terhambat. Kelima, dampak berantai meluas ke lembaga pembiayaan dan sektor pendukung industri lainnya.

“Hilirisasi nikel yang selama ini menjadi kebanggaan Indonesia ternyata menghadapi masalah mendasar di bagian hulu,” ujar Arif.

Pentingnya Fondasi Hulu yang Kuat

Ekosistem hilirisasi nikel menuntut harmoni antara tambang, smelter, pasar, dan kebijakan pemerintah. Arif menekankan, titik terlemah saat ini berada pada pasokan bijih nikel. Perubahan masa berlaku Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) dari tiga tahun menjadi satu tahun memperparah ketidakpastian pasokan. Dengan jumlah smelter yang terus bertambah, kuota tambang meningkat, namun ruang perencanaan penambangan semakin terbatas.

Strategi Memperkuat Hilirisasi

FINI menyarankan langkah-langkah strategis untuk memperkuat hilirisasi nikel nasional. Pertama, percepatan eksplorasi untuk menambah cadangan dan kepastian pasokan. Kedua, pengetatan kepatuhan teknis penambangan agar produksi sesuai standar. Ketiga, prioritas pada RKAB terintegrasi untuk tambang yang memasok smelter, sehingga rantai pasok lebih stabil.

Tanpa penguatan hulu, investasi smelter dan peluang hilirisasi akan terus menghadapi risiko kekurangan bahan baku. Arif menekankan bahwa pembangunan hilirisasi hanya akan menjadi peluang sejarah jika pasokan bijih dapat terjamin di negeri yang kaya nikel.

Hilirisasi Harus Seimbang dengan Pasokan

Pertumbuhan smelter nikel di Indonesia menunjukkan ambisi besar untuk menjadi pemain global dalam industri logam dan baterai. Namun, keberhasilan hilirisasi tergantung pada penguatan pasokan bijih nikel di hulu. Perencanaan yang matang, pengawasan ketat, dan integrasi antara tambang dan smelter menjadi kunci agar Indonesia tidak hanya menjadi eksportir produk hilir, tetapi juga tetap mandiri dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku.

“Hilirisasi membutuhkan perencanaan menyeluruh dengan penguatan hulu. Tanpa fondasi hulu yang kuat, ironi impor bijih nikel akan terus membayangi ambisi besar Indonesia,” tutup Arif.

Terkini

15 Hp OPPO Terbaru 2025, Harga dan Spesifikasi

Sabtu, 22 November 2025 | 21:33:26 WIB

Top 10 Harga Laptop ASUS 3 Jutaan Terbaik 2025

Sabtu, 22 November 2025 | 21:12:10 WIB

iPad Terbaru 2025: Spesifikasi dan Harganya di Indonesia

Sabtu, 22 November 2025 | 16:04:19 WIB