JAKARTA - Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, rumah ibadah tidak hanya menjadi tempat berlangsungnya kegiatan keagamaan, tetapi juga simbol harmoni yang mencerminkan kerukunan antar-umat.
Dalam kunjungan kerjanya ke Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Menteri Agama Republik Indonesia Nasaruddin Umar kembali menekankan pentingnya menjaga kehormatan rumah ibadah dan memastikan bahwa masyarakat dari berbagai keyakinan saling menghormati satu sama lain. Pesan ini bukan hanya imbauan, tetapi bagian dari upaya besar untuk memperkuat hubungan antarwarga dan menjaga stabilitas sosial di tengah keberagaman yang begitu kaya.
Melalui pernyataannya, Nasaruddin menegaskan bahwa rumah ibadah merupakan sarana bagi umat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Kesadaran ini, menurutnya, menjadi fondasi penting bagi masyarakat agar dapat menerima perbedaan tanpa kekhawatiran.
“Saya mohon sekali umat beragama untuk saling menghormati rumah ibadah masing-masing agama,” ujar Menag saat menyampaikan pesannya. Dengan penekanan ini, Menag ingin memastikan bahwa keberadaan rumah ibadah tidak hanya dilihat sebagai tempat beribadah, tetapi juga ruang yang perlu mendapat perlindungan bersama demi menjaga kedamaian sosial.
Nilai Kebaikan dalam Kehidupan Beragama
Nasaruddin menggarisbawahi bahwa agama pada dasarnya memiliki sisi dominan dalam diri manusia yang mendorong pada kebaikan. Menurutnya, ketika spiritualitas menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang, maka sikap toleran dan saling menghargai akan tumbuh dengan sendirinya.
Ia mengatakan, “Agama lebih dominan terhadap diri pastikan akan menyumbangkan kebaikan, kebenaran tanpa membedakan perbedaan apapun.” Pernyataan ini menegaskan bahwa inti dari semua ajaran agama selalu mengarah pada nilai-nilai universal, seperti kebenaran, kasih sayang, dan sikap saling menghormati.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang multikultural, pesan ini sangat relevan. Persinggungan antaragama sering kali terjadi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga diperlukan kesadaran kolektif untuk memperlakukan perbedaan sebagai kekayaan, bukan sebagai batasan. Menag menilai bahwa jika nilai-nilai keagamaan dijalankan secara konsisten, dampaknya akan terasa di berbagai aspek kehidupan, terutama dalam menciptakan lingkungan yang harmonis dan aman.
Rumah Ibadah sebagai Fondasi Kedamaian Lingkungan
Lebih jauh, Nasaruddin menegaskan pentingnya keberadaan rumah ibadah dalam lingkungan masyarakat. Dalam pandangannya, semakin banyak rumah ibadah yang hadir, maka semakin besar pula peluang masyarakat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjauhi perilaku negatif yang dapat mengganggu ketertiban umum. “Lebih baik rumah ibadah banyak daripada rumah-rumah preman, judi, maksiat, dan lainnya,” katanya. Ungkapan ini mencerminkan pandangan bahwa spiritualitas dapat menjadi benteng moral yang kuat bagi masyarakat.
Ia juga menambahkan bahwa kedekatan seseorang dengan Tuhan akan memberi dampak positif bagi lingkungan sosial. “Makin dekat hamba terhadap Tuhannya, maka makin jauh kriminal dan polisi mungkin bisa istirahat,” ujarnya. Baginya, nilai-nilai religius bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga berpengaruh besar terhadap menurunnya tingkat kejahatan dan meningkatnya ketertiban sosial. Sebaliknya, kata Menag, ketika masyarakat menjauh dari nilai-nilai agama, berbagai bentuk kriminalitas dan pelanggaran bisa muncul dengan mudah. Pesan ini menjadi pengingat bahwa spiritualitas dan moralitas adalah pilar penting dalam menjaga ketenangan hidup bersama.
Ciri Masyarakat Maritim dan Penguatan Pendidikan Keagamaan
Di sela kunjungannya, Nasaruddin juga memberikan catatan mengenai karakter masyarakat Bangka Belitung yang merupakan daerah kepulauan. Ia menyebut bahwa masyarakat maritim biasanya memiliki sikap egalitarian yang cukup dominan, berbeda dengan masyarakat di daerah daratan. Menurutnya, pola sosial ini memiliki keunikan tersendiri dan memengaruhi cara masyarakat merespons keberagaman. “Daerah-daerah maritim ini sangat berbeda dengan daerah daratan dan itulah sebabnya, semua agama besar itu lahir di masyarakat daratan. Semua nabi lahir di daerah daratan dan tidak ada lahir di daerah kepulauan,” katanya.
Walaupun demikian, ia menyampaikan bahwa masyarakat di daerah kepulauan umumnya memiliki karakter yang baik. Hal ini, menurutnya, menjadi modal penting untuk memperkuat keharmonisan sosial. “Orang-orang pulau tersebut orang-orang baik,” katanya. Namun, ia menekankan bahwa karakter baik tersebut akan semakin kuat apabila didukung dengan pendidikan agama yang memadai.
Dengan itu, ia mengajak masyarakat untuk menggabungkan kearifan lokal budaya maritim dengan penguatan nilai-nilai keagamaan. Ia menilai bahwa kehadiran lembaga pendidikan berbasis agama dapat menjadi sarana penting dalam membentuk generasi muda yang berakhlak baik.
Salah satu contohnya adalah keberadaan Sekolah Tinggi Agama Konghucu Indonesia Negeri di Kepulauan Bangka Belitung. “Orang baik ini akan menjadi lebih baik lagi jika ditambahkan dengan memperbanyak sekolah keagamaan seperti Sekolah Tinggi Agama Konghocu Indonesia Negeri,” ujarnya.
Melalui pesan-pesan tersebut, Menag Nasaruddin Umar menekankan bahwa harmoni dan toleransi bukan hanya dibangun melalui kebijakan pemerintah, tetapi juga melalui kesadaran masyarakat untuk saling menjaga, menghormati, dan menguatkan peran rumah ibadah dalam kehidupan berbangsa.