JAKARTA - Kebijakan pemerintah yang memperketat izin pendirian smelter nikel ternyata tak dipandang sebagai hambatan oleh pelaku industri, melainkan sebagai peluang memperkuat investasi berkelanjutan di sektor hilir nikel.
PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) menilai langkah ini akan memacu masuknya investor berkualitas tinggi yang berkomitmen terhadap praktik environmental, social, and governance (ESG) dan mendukung transformasi industri mineral nasional.
IMIP Nilai Pembatasan Izin Smelter Dorong Investasi Berkualitas
Head of Media Relations PT IMIP, Deddy Kurniawan, mengatakan kebijakan pembatasan izin investasi dan Izin Usaha Industri (IUI) untuk smelter baru merupakan evolusi alami industri nikel nasional. Menurutnya, pembatasan ini akan menyaring investor agar hanya mereka yang memiliki teknologi tinggi, visi jangka panjang, serta kepedulian terhadap keberlanjutan yang bisa beroperasi di Indonesia.
“IMIP sepenuhnya mendukung dan sudah selaras dengan arah kebijakan dari pemerintah,” ujar Deddy. Ia menilai aturan baru ini berfungsi sebagai filter kualitas investasi yang sangat efektif, terutama untuk mendorong industrialisasi nikel ke arah yang lebih ramah lingkungan dan bernilai tambah tinggi.
“IMIP dengan infrastruktur lengkap, rantai pasok terintegrasi, dan komitmen terhadap produk hilir, justru menjadi primadona bagi tipe investor seperti ini,” tambahnya.
Kebijakan Tidak Hambat Pertumbuhan, Justru Perkuat Hilirisasi
Lebih lanjut, Deddy menegaskan bahwa pembatasan izin tidak akan menjadi hambatan bagi IMIP, melainkan peluang memperdalam hilirisasi nikel. Menurutnya, Indonesia kini memasuki tahap transisi dari sekadar produsen produk antara (intermediate) seperti nickel pig iron (NPI) dan feronikel (FeNi) menuju penghasil produk hilir bernilai tinggi seperti bahan baku baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
“Kebijakan ini sejalan dengan visi jangka panjang IMIP. IMIP bukan sekadar kawasan smelter, tetapi ekosistem industri hilir yang terintegrasi,” ujarnya. Ia juga menyebut bahwa IMIP kini menjadi kawasan industri strategis yang telah memantapkan posisi di sektor manufaktur, bukan tambang.
Tiga Klaster Industri Strategis di Kawasan IMIP
Kawasan industri IMIP di Morowali, Sulawesi Tengah, kini telah memiliki tiga klaster utama yang menopang pengembangan hilirisasi nikel nasional, yaitu stainless steel, carbon steel, dan komponen baterai listrik.
Pada klaster stainless steel, bijih nikel diolah menjadi NPI hingga stainless steel. Sementara pada klaster carbon steel, IMIP memiliki kapasitas produksi baja karbon hingga 7 juta metric ton per tahun.
Adapun klaster ketiga difokuskan pada industri komponen baterai kendaraan listrik yang mendukung program energi bersih dan terbarukan pemerintah. “Beberapa proyek strategis di Kawasan IMIP untuk mendukung klaster EV telah masuk tahap produksi, seperti smelter MHP [mixed hydroxide precipitate], nikel elektrolisis, dan nickel matte,” jelas Deddy.
Smelter-smelter ini, lanjutnya, akan menjadi tulang punggung rantai pasok industri kendaraan listrik di Indonesia. IMIP juga tengah mengembangkan pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan untuk meningkatkan proporsi energi terbarukan di kawasan industri tersebut.
Investor Baru Fokus pada Energi Terbarukan dan Teknologi Tinggi
Deddy mengungkapkan, minat investor baru di kawasan IMIP kini mengarah pada sektor-sektor berteknologi tinggi dan energi bersih. Beberapa investor disebutkan bergerak di bidang telekomunikasi, workshop industri pendukung, serta pembangkit listrik tenaga surya.
Langkah ini menunjukkan bahwa ekosistem investasi di IMIP mulai bergeser dari fokus eksplorasi sumber daya alam menuju inovasi teknologi dan efisiensi energi, sesuai arah kebijakan pemerintah untuk memperkuat industri hijau nasional.
Kemenperin Perketat Izin Smelter Nikel Nonintegrasi
Kebijakan pembatasan smelter nikel ditegaskan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang kini memperketat penerbitan Izin Usaha Industri (IUI) untuk smelter nikel standalone, baik yang menggunakan metode pirometalurgi maupun hidrometalurgi.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Setia Diarta menjelaskan, hilirisasi nikel nasional kini diarahkan agar tidak berhenti pada produk kelas dua seperti NPI, FeNi, nickel matte, atau MHP. Fokusnya bergeser ke produk bernilai tambah tinggi seperti nickel electrolytic, nickel sulphate, dan nickel chloride.
“Untuk target industri pengolahan dan pemurnian nikel tahun 2025–2035, bukan lagi pada nikel kelas 2,” kata Setia kepada Bloomberg Technoz.
Aturan Baru untuk Pembangunan Smelter Nikel
Aturan ini juga ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 5 Juni 2025.
Dalam beleid tersebut dijelaskan, setiap pengajuan izin pembangunan smelter baru wajib menyertakan surat pernyataan tidak memproduksi NPI, FeNi, atau nickel matte bagi pihak yang akan membangun smelter berbasis pirometalurgi.
Setia menambahkan bahwa Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) akan mengirimkan daftar smelter yang sedang dalam tahap konstruksi untuk diverifikasi sebelum disampaikan ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Jumlah Smelter Nasional Terus Bertambah
Kemenperin mencatat hingga Maret 2024, terdapat 44 smelter nikel berstatus IUI yang beroperasi di bawah binaan Ditjen ILMATE. Lokasi terbanyak berada di Maluku Utara, dengan total kapasitas produksi mencapai 6,25 juta ton per tahun.
Selain itu, masih ada 19 smelter dalam tahap konstruksi serta 7 proyek lain yang berada pada tahap studi kelayakan (feasibility study). Dengan demikian, total proyek smelter nikel yang terdaftar di Indonesia mencapai 70 proyek per Maret 2024.
Kondisi ini menunjukkan betapa pesatnya ekspansi industri nikel di Tanah Air, sekaligus menggambarkan bahwa arah kebijakan baru bukan untuk menekan investasi, tetapi untuk memastikan seluruh investasi yang masuk selaras dengan prinsip hilirisasi berkelanjutan dan ekonomi hijau nasional.